5 Budaya Jambi yang Masih Dilestarikan, Ada Tari Sekapur Sirih hingga Kompangan
Ada beberapa budaya Jambi yang hingga kini masih dilestarikan, salah satunya yakni Tari Sekapur Sirih. Biasanya tari ini untuk menyambut tamu.
Bukan hanya tarian, ada juga beragam budaya Jambi mulai dari kesenian, makanan, hingga tradisi. Keberagaman ini menyatu menjadi kekayaan yang mencerminkan keindahan dan keunikan daerah ini. Lantas, apa saja kebudayaan yang ada di Jambi? Simak informasi berikut.
Daftar 5 Budaya Jambi
Dikutip dari buku Ragam Budaya Jambi oleh Syaiful Milla, dkk, berikut 5 budaya Jambi yang sampai saat ini masih ada.
1. Tari Sekapur Sirih
Pertama ada satu seni tradisional yang biasa dilakukan untuk menyambut tamu, yaitu tari sekapur sirih. Tarian ini diciptakan pada tahun 1962 oleh Firdaus yang kemudian dibuat ulang oleh OK Hendrik BBA pada tahun 1967.
Biasanya, tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu-tamu penting yang datang ke Jambi, seperti presiden, menteri, gubernur, dan lain-lain.
Umumnya, Tari Sekapur Sirih ditarikan oleh para penari perempuan. Mereka mengenakan pakaian adat sambil menampilkan berbagai gerakan tarian yang lembut dan membawa properti, seperti cerano atau wadah untuk persembahan.
Sampai saat ini, Tari Sekapur Sirih masih dilakukan dan dikembangkan, sehingga muncul berbagai ide dan variasi yang membuat tarian ini jadi lebih menarik, tetapi tetap mempertahankan ciri khas tradisional.
2. Kompangan
Kompangan merupakan seni pertunjukan untuk sebutan beberapa orang yang memainkan alat musik rebana. Biasanya, lagu-lagu yang dilantunkan berupa syair-syair Islami. Awalnya, seni pertunjukan ini disebut dengan rebana, tetapi kemudian berubah nama menjadi kompangan.
Seni pertunjukan ini biasanya dilakukan pada acara arak-arakan pernikahan, khitanan dan syukuran yang telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat Jambi. Kompangan menjadi media yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur dan rasa cinta atas segala karunia dan rahmat dari sang pencipta.
Kesenian kompang memiliki nuansa Islami yang terlihat pada syair dan alat musik yang digunakan. Syair yang digunakan berupa selawat yang diambil dari kitab Al Barzanji. Sementara instrumen yang digunakan berupa sejenis rebana yang berasal dari Arab.
Kompangan sudah ada sejak tahun 1930-an yang mulanya disebut dengan hadrah. Namun, kini kompangan berbeda dengan hadrah. Kompangan merupakan bagian dari hadrah yang disederhanakan dan bersifat turun temurun hingga kini.
3. Ritual Mandi Safar
Setiap manusia pasti tidak akan lepas dengan yang namanya ujian atau cobaan. Di Jambi, ada sebuah kebudayaan yang kerap dilakukan setiap bulan safar, yakni Ritual Mandi Safar. Ritual ini merupakan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim di Jambi serta beberapa wilayah lainnya di Indonesia.
Ratusan bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan usia dan daerah berbondong-bondong menghadiri ritual ini. Mereka percaya bahwa Ritual Mandi Safar bisa mencegah bahkan menghilangkan segala macam kesialan, penyakit menular, bencana, dan musibah.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa ritual ini tidak boleh dilakukan, tetapi sebagian lainnya masih melakukan dan mempercayai hal tersebut. Mereka yang percaya menganggap bahwa Ritual Mandi Safar hanyalah tradisi leluhur yang bernafaskan Islam dan perlu dilestarikan.
4. Tari Tauh
Selain Tari Sekapur Sirih, di Jambi ada juga Tari Tauh. Tarian ini menjadi salah satu ikon kebudayaan yang berasal dari Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Meskipun belum ada sejarah yang menceritakan asal usulnya, tetapi tarian ini diperkirakan telah ada sejak masa penjajahan Belanda.
Kata Tauh berasal dari kata “ta” yang artinya tarap da “uh” yang artinya jauh, sehingga diartikan sebagai tarap jauh. Tarian ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Muara Bungo. Meskipun ceritanya penuh dengan kepiluan dan ketakutan, tarian ini juga mengandung keindahan yang mampu memikat siapa pun yang menyaksikannya.
Pertunjukan tari ini diawali dengan langkah-langkah yang tenang, seakan menggambarkan ketenangan sebelum badai. Penari bergerak dengan keanggunan seolah-olah melintasi lorong-lorong kegelapan yang tak berujung. Iringan alat musik yang mencekam bernama krinok, seakan membawa penonton pada perjalanan menuju dunia yang jauh dari kehidupan sehari-hari.
Hingga kini, para penari dengan bangga mewariskan pengetahuan dan teknik Tari Tauh dari generasi ke generasi agar tarian ini tidak hilang ditelan zaman. Tari Tauh masih terjaga keasliannya karena kurangnya paparan dan pengaruh dunia luar, sehingga masih menyimpan keaslian dan ruh dari komunitas Muara Bungo.
5. Tempoyak
Di Jambi, buah durian tidak hanya dimakan langsung saja. Ada olahan makanan yang bahan utamanya durian, yaitu Tempoyak. Tempoyak dibuat dari buah durian yang diproses melalui fermentasi dengan menambahkan garam dalam wadah yang tertutup. Umumnya, proses fermentasi berlangsung selama tujuh hari sampai durian memiliki aroma asam yang kuat.
Tempoyak khas Jambi berasal dari kebiasaan masyarakat Jambi yang suka memanfaatkan buah durian yang banyak. Untuk menghindari pemborosan, mereka membuat durian menjadi tempoyak.
Menurut legenda dan cerita rakyat Jambi, tempoyak sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Hingga kini, tempoyak menjadi makanan khas Jambi yang terus berkembang dan menjadi simbol budaya masyarakat Jambi.
Itulah 5 budaya Jambi yang sampai saat ini masih dilestarikan dan dapat dijumpai. Semoga informasi ini dapat memperkaya wawasan.